Saturday 21 July 2007

Monroe vs Gede Prama

MARILYN MONROE “vs” GEDE PRAMA

“the only journey is the journey within’.”
(Satu-satunya perjalanan dalam hidup
hanyalah perjalanan ke dalam diri).
___________________________________________

Tulisan ini akan berkisah tentang sebuah wacana komparatif antara dua tokoh besar, Marilyn Monroe dan Gede Prama. Tentu saja, tetap berada dalam koridor “Psikologi Komunikasi”. Mengapa Marilyn Monroe? Karena memang manusia inilah, yang dijadikan sebagai tokoh utama dalam soal ujian mid-semester. Mengapa Gede Prama? Sebab, perjalanan pribadinya merupakan perjalanan yang unik. Mengapa “vs”? Sebab, begitu banyak kontradiksi jalan kehidupan di antara keduanya. Semua itu akan coba dianalisa di dalam tulisan ini. Secara sederhana.

GEDE PRAMA. Seorang bijak dari Bali Utara. Penutur kehidupan dengan gaya kontemplatif yang cerdas cendekia. Mampu menepis anggapan sebagian orang, bahwa SUARA HATI dan CITA-CITA YANG TINGGI, adalah dua hal yang berlawanan. Sebuah bukti nyata bahwa kesuksesan justru mampu diraih secara maksimal, saat kejernihan diri mengikuti hati nurani. Karya-karyanya sudah mempengaruhi hidup banyak orang; baik melalui media cetak, radio, televisi maupun internet. Harga mahal berani dibayar oleh institusi terkemuka seperti Citibank, Microsoft, IBM dan BCA. Atau bisa duduk di kursi president dan CEO sebuah perusahaan swasta, serta menjadi penulis dan pembicara publik yang diperhitungkan di usia tiga puluh delapan tahun. Semua ini, hanyalah sebagian bukti seberapa dalam ia telah menyelami keyakinan : “ ... dengan hati, kita bisa sampai ke tempat yang tinggi” .

MARILYN MONROE. Selebritis Amerika yang mencapai puncak karier pada tahun 1950-an. Perjalanan hidup membawanya pada dunia gemerlap artis papan atas Hollywood. Sebuah tempat untuk mereka yang siap “dihilangkan”, dan “dimunculkan kembali” sebagai sosok yang baru. Sosok yang diinginkan oleh pasar film. Zaman saat Monroe hidup, adalah zaman keemasan baginya. Segala atribut fisik yang melekat, benar-benar menjadi “tiket VIP” baginya untuk mampu menembus segala rintangan menjadi seorang superstar Hollywood. Awalnya, memang Monroe begitu menikmati proses karier, sejak film pertamanya : “Scudda Hoo! Scudda Hai!” yang belum begitu melejitkan namanya, hingga film-film berikut yang makin membuat bintangnya kian bersinar, namun justru meredupkan jiwa sejatinya, hingga padam.
SEBUAH IRISAN
Ada satu titik yang saling beririsan, dalam alur kehidupan sesosok Prama dan seorang Monroe. Keduanya sama-sama melalui sebuah proses “pencarian jati diri” yang cukup unik. Bedanya, Prama begitu yakin dengan suara hati. Ketika umumnya, sebagian manusia memilih menggunakan “model” manusia lain sebagai jembatan-jembatan pemahaman, ia justru menggunakan tubuh, jiwa, dan perjalanannya sendiri sebagai sarana pemahaman. Dan ia cukup sukses. Lewat tulisan, ucapan, dan tindakan, Prama mengekspresikan jati dirinya tanpa terpengaruh oleh anggapan negatif orang lain. Pun, selama proses pendakian hidup, dia tidak menyimpan sendiri. Energi positif selalu ia alirkan melalui karya-karya yang bermakna untuk sesama. Bahkan, kejernihan hati telah mengantarkan Gede Prama pada puncak karier kehidupan dunia sebagai CEO sebuah perusahaan swasta, memimpin perusahaan konsultan, dan menjadi pembicara publik.

Sebaliknya, Monroe. Simbol “sensualitas” seakan telah melekat teramat sangat kuat, padanya. Hingga membuat diri yang sejati benar-benar hilang sama sekali. Orang begitu terpesona pada “citra” Monroe, bukan pada “sejati” Monroe. Toh pun, hingga berdarah-darah ia memperjuangkan the real of me, hingga berupaya keras mendatangi sutradara klasik, ahli Shakespeare : Laurence Olivier, di London, dan mempelajari ilmu akting secara serius . Namun tetap saja, orang tidak bisa menerima itu. Puncak kariernya justru membawa pada kegalauan luar biasa untuk mencari diri yang nyata, bukan citra semata. Sungguh naas. Dalam pergulatan mendaki diri sendiri, obat penenangpun menjadi tempat pelarian. Dan kemudian, berujung pada kematian.


RELEVANSI TEORITIK

Konsep Diri
“those physical, social, and psychological perceptions of our selves that we have derived from experiences and our interaction with others” . Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Komponen konsep diri ada dua macam : komponen kognitif (citra diri/self-image) dan komponen afektif (harga diri/self-esteem) .
Akan berbeda, seseorang yang telah memiliki konsep diri yang jelas, dengan mereka yang masih ragu akan dirinya sendiri. Gede Prama, sejak lahir di Bali tahun 1963 silam, keluarga (terutama Sang Ibu), memang senantiasa mengajarkan kepadanya; tentang makna cinta, hati, dan keikhlasan . Itulah, yang kemudian membentuknya tumbuh menjadi seorang pribadi dengan konsep diri yang mantap.

Sebaliknya, Monroe. Dilahirkan dari seorang Ibu yang mengalami depresi mental, kemudian sempat mengalami hidup di panti asuhan, dan tinggal bersama keluarga lain, dipaksa menikah dalam usia yang masih relatif muda, dan akhirnya “terjebak” pada kehidupan glamour artis Hollywood. Kesemuanya, sangat berpengaruh pada kepribadian Monroe yang labil, serta galau luar biasa dalam menentukan konsep diri .


Psikologi Gestalt (kognitif)
Tahun : 1912-1960
Tokoh : Max Wertheimer

Gestalt dalam bahasa Jerman artinya, bentuk atau pola keseluruhan. Atau dalam bahasa sehari-hari , manusia lebih percaya image yang terbentuk atas dirinya, ketimbang diri itu sendiri. Image ini terbentuk oleh pikiran. Karena itu, paradigma ini, juga dikenal dengan istilah psikologi kognitif.

Paradigma ini menaruh minat yang besar pada persepsi, pemecahan persoalan dan daya pikir. Di mana, analisis dilakukan tidak hanya pada jiwa (psikologis) melainkan juga pikiran atau seluruh aspek terkait dalam satu situasi tertentu. Analisis ini dikenal dengan nama Gerak Apparent. Paradigma ini punya peran penting dalam menjelaskan bagaimana konstruksi sosial budaya di masyarakat.

Amerika, yang menjadi latar tempat “tragedi Monroe” tentu berbeda dengan Indonesia, “rumah” Gede Prama. Kondisi sosial-budaya yang melingkupi kehidupan kedua tokoh tersebut, sangatlah berpengaruh terhadap pola pikir mereka. Beberapa episode pahit dalam kehidupan Monroe, ternyata membawanya pada persepsi negatif diri, dalam konteks kehidupan. Berbeda dengan Prama, yang senantiasa memperoleh asupan energi positif. Pola pikir membawanya pada cara pandang positif tentang hidup, dan kehidupan.


Emosi dalam Pemecahan Masalah
Salah satu satu faktor yang mempengaruhi pemecahan masalah adalah faktor EMOSI. Dalam menghadapi berbagai situasi, kita tanpa sadar sering terlibat secara emosional. Emosi mewarnai cara berpikir kita. Kita tidak pernah dapat berpikir betul-betul objektif. Sebagai manusia yang utuh, kita tidak dapat mengesampingkan emosi. Sampai di situ, emosi bukan hambatan utama. Tetapi bila emosi itu sudah mencapai intensitas yang begitu tinggi sehingga menjadi stress, barulah kita menjadi sulit berpikir efisien.

“Takut mungkin melebih-lebihkan kesulitan persoalan dan menimbulkan sikap resah yang melumpuhkan tindakan; marah mendorong tindakan impulsif dan kurang dipikirkan; dan kecemasan yang sangat membatasi kemampuan kita melihat masalah dengan jelas/merumuskan kemungkinan pemecahan”.

Detik-detik menjelang kematian, Monroe menggantungkan hidupnya pada obat penenang. Galau, bingung, marah, sedih, kecewa, cemas, dan berjuta perasaan, terakumulasi dalam sebuah rasa : takut. Takut menghadapi kehidupan, yang kian hari justru kian jauh dari diri sejatinya. Pada kondisi emosi yang memuncak itulah, kejernihan pikiran tidak dia temukan. Dan akhirnya, terjadilah peristiwa tragis itu. Mati karena overdosis obat penenang.


Teori Disonansi Kognitif
Disonansi artinya ketidakcocokkan mengenai dua kognisi (“pengetahuan”). Teori Disonansi Kognitif merupakan hasil dari pemikiran psikologi kognitif yang dibawa ke arah psikologi sosial. Tokoh dari teori ini adalah Leon Festinger, di mana sejak pertengahan 1950-an berkembang penelitian mengenai perubahan sikap dengan kerangka teoritis manusia sebagai pencari konsistensi kognitif (The person as Consistensy Seeker) . Disonansi membuat orang resah. Kognisi “Monroe identik dengan sensualitas”, disonan dengan “Monroe lebih dari sekedar sensualitas”, membuatnya resah. Dia pun berupaya mencari solusi dari keresahannya.

Awalnya, Monroe berupaya keras untuk memperjuangkan kognisi yang ke-dua (bahwa dia lebih dari sekedar “icon” sensualitas). Namun ternyata, usahanya tidak mendatangkan hasil yang berarti. Dunia tetap menganggapnya hanya sebagai simbol sensualitas. Maka, Monroe putus asa, dan memilih untuk pasrah pada kognisi pertama, walau harus mengorbankan diri sendiri.

Seringkali memang, ada dua pemaknaan/pengetahuan atas diri kita; diri ideal (yang diharapkan), dan diri faktual (yang senyatanya). Adapun makna hidup sejati, adalah menuju pada titik ideal. Semampu kita.


Kognitif (Manusia Berpikir/Homo Sapiens)
Untuk apa orang berpikir? Berpikir kita lakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making), memecahkan persoalan (problem solving), dan menghasilkan yang baru (creativity). Memahami realitas berarti menarik kesimpulan, meneliti berbagai kemungkinan penjelasan dari realitas eksternal dan internal . Sehingga dengan singkat, Anita Taylor et.al. mendefinisikan berpikir sebagai proses penarikan kesimpulan. Thinking is a inferring process.
Menurut perkembangan mutakhir psikologi kognitif, manusia lebih sering berpikir tidak logis daripada berpikir logis seperti berpikir deduktif. “...Logical reasoning is not our usual – or natural – practice, and the technically invalid kinds of reasoning we generally employ work rather well in most of the everyday situations,...” (Berpikir logis bukanlah kebiasaan kita atau hal yang alamiah. Dan cara berpikir yang menurut kaidah logika tidak valid, yang biasanya kita lakukan, justru berjalan agak baik dalam kebanyakan situasi sehari-hari).


Solusi : Komunikasi Intrapersonal
Tragedi Monroe, ataupun kesuksesan Gede Prama, pada prinsipnya terkait erat dengan pola komunikasi yang terbangun dalam hidup mereka. Komunikasi yang efektif berbanding lurus dengan hidup yang efektif. Dan, salah satu bentuk komunikasi yang cukup berpeluang mendatangkan pengaruh besar atas eksistensi diri manusia adalah komunikasi intrapersonal.

Dalam komunikasi intrapersonal, memori memegang peranan penting dalam mempengaruhi persepsi diri. Memori adalah sistem yang sangat berstruktur . Ada beberapa teori yang terkait dengan hal ini. Namun pada intinya, stimulus yang diperoleh akan diolah, dianalisa, untuk kemudian diwujudkan dalam persepsi.

Beberapa kajian tentang berpikir : proses pembuatan keputusan, pemecahan masalah, bagaimana memori bekerja, berpikir logis maupun berfantasi, semua mengarah pada “komunikasi intrapersonal”. Sebuah bentuk komunikasi yang sejatinya membentuk kita untuk berkomunikasi dengan diri sendiri. Atau bahkan kepada Sang Pencipta. Sebuah bentuk komunikasi dalam perjalanan menemukan konsep diri, dan jati diri manusia.


“... di dalam hati sini tersedia banyak sekali
harta dan ketinggian-ketinggian hidup yang mengagumkan. Hebatnya lagi, kalau harta luar harus kita beli
dengan harta mahal, harta dan takhta,
di dalam diri semuanya tersedia gratis.
Ia hanya mempersyaratkan satu hal :
ketekunan secara rutin untuk berefleksi ...”


Demikian ucap Gede Prama. []